Menuju Gerakan Mahasiswa Sindikalis
Oleh : Riva Fauzi Firdaus, Mahasiswa STIE Ahmad Dahlan Karawaci
POTRETTANGERANG.ID, Opini – Selama beberapa tahun terakhir, kita telah melihat berbagai gerakan kampus yang berkembang di seputar isu ‘reforma universitas.’ Sebagian kecil dari gerakan ini mampu memiliki basis massa selama periode yang singkat. Beberapa diantaranya membawa perubahan-perubahan kecil dalam hal peraturan dan regulasi kampus. Namun hampir seluruhnya gagal merubah secara radikal komunitas universitas, atau bahkan untuk sekedar mempertahankan eksistensi mereka sendiri.
Lebih jauh lagi, tak ubahnya sistem pendidikan sekarang ini seperti mesin pencetak tenaga kerja bagi korporat, kehadiran korporat di kampus dengan sangat aneh mentransformasikan sifat dari komunitas universitas. Contoh paling terang-terangan adalah sistem nilai. Banyak profesor akan sependapat bahwa nilai itu tidak ada gunanya bagi—kalau bukan malah secara positif mengganggu—proses belajar. Namun seluruh komunitas yang telah termanipulasi ini menjawab serentak: “Selain pengambilalihan oleh mahasiswa Universitas Columbia pada tahun 1968, bagaimana lagi perusahaan-perusaha an bisa mengetahui siapa yang layak dipekerjakan (atau untuk siapa Dinas Selektif dirumuskan)?” Dan kita dengan sukaria membelanjakan uang publik untuk mensubsidi usaha-usaha pengujian untuk bisnis swasta.
Yang harus kita lihat dengan jelas adalah hubungan antara universitas dan masyarakat liberal korporat secara luas. Kebanyakan dari kita merasa marah ketika para administrator universitas kita ataupun antek-anteknya berupa Senat Mahasiswa dan BEM menyamakan universitas dan akademi kita dengan perusahaan. Dengan pahit kita menanggapinya dengan pembicaraan tentang ‘komunitas cendikiawan.’ Akan tetapi, kenyataannya mereka itu benar. Lembaga-lembaga pendidikan kita adalah perusahaan dan pabrik pengetahuan. Yang kemarin gagal kita lihat ialah betapa vitalnya pabrik-pabrik ini bagi negara liberal korporat.
Apa yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik ini? Apa saja komoditasnya? Jawaban paling jelas adalah ‘pengetahuan.’ Pabrik-pabrik kita ini menghasilkan keahlian yang memungkinkan negara korporat untuk berkembang, tumbuh dan mengeksploitasi masyarakat secara lebih efisien dan lebih luas, baik di negeri kita sendiri maupun di dunia ketiga. Tetapi pengetahuan barangkali terlalu abstrak untuk dipandang sebagai sebuah komoditas. Konkretnya, komoditas pabrik-pabrik kita adalah hal-hal yang berpengetahuan. Para pejabat AID (Agency for International Development / Agensi Pembangunan Internasional) , orang-orang Korps Perdamaian, petugas-petugas militer, para pejabat CIA, hakim-hakim segregasionis, pengacara perusahaan, segala macam politisi, pekerja kesejahteraan, manajer industri, birokrat buruh (dan masih banyak lagi yang dapat saya sebutkan): Dari mana mereka berasal? Mereka adalah produk dari pabrik-pabrik tempat kita tinggal dan bekerja.
Di jurusan-jurusan perakitan di universitas- universitas kitalah mereka dicetak menjadi apa adanya mereka sekarang. Sebagai bagian integral dari sistem pabrik pengetahuan, kita adalah sekaligus penghisap dan yang terhisap. Sebagai sekaligus pengelola dan yang dikelola, kita menghasilkan dan menjadi produk paling vital dari liberalisme korporat: manusia birokratik. Singkat kata, kita adalah semacam pekerja-pengkhianat baru.
Akhirnya, barangkali kita akan bisa melihat hubungan vital antara pabrik-pabrik kita dengan kondisi-kondisi liberalisme korporat sekarang ini bila kita bertanya kepada diri kita sendiri, apa yang akan terjadi jika militer mendapati dirinya tanpa ada mahasiswa ROTC, CIA tidak mendapat rekrutan baru, departemen-departem en kesejahteraan yang paternalistik kehilangan pekerja sosialnya, atau Partai Sosialis Demokratik kehilangan generasi muda apologis liberal dan para juru kampanyenya? Singkat kata, apa yang akan terjadi pada sebuah masyarakat yang manipulatif jika sarana-sarana yang digunakan untuk menciptakan orang-orang yang bisa dimanipulasi itu sudah tak lagi berlaku (sudah lenyap)?
Jawabannya ialah, bahwa pada saat itu mungkin kita akan punya kesempatan untuk melawan dan merubah sistem itu. Sebagian besar dari kita pernah terlibat dalam gerakan-gerakan reforma universitas dari satu jenis atau lainnya. Pada sebagian besarnya, upaya-upaya kita baru menelurkan sangat sedikit hasil. Gerakan Bebas Berpendapat menyala cukup singkat, lalu padam. Pernah ada beberapa lusin komite ad hoc untuk penghapusan aturan ini atau aturan itu. Beberapa dari komite-komite ini sukses, lalu bubar. Sebagian lainnya malah tak pernah bisa berkembang. *